MALAM ini, kudengar suara gemericik hujan yang turun rintik-rintik membasahi atap genteng rumah. Suaranya kian menambah syahdu suasana malam. Sendirian, aku duduk di sofa panjang ruang tamu yang empuk. Sayup-sayup terdengar lalu lalang kendaraan di jalan depan rumah.
Di hadapanku, ada sebuah meja yang di atasnya ada mangkuk bekas mie dan segelas teh manis yang tinggal setengah, sisa makan malamku tadi.
Tak seorang pun ada di rumah, sore ini. Para penghuninya terkecuali aku, sedang asyik jalan-jalan keliling Kota Jakarta, mengisi masa liburan.
Ponselku tiba-tiba bergetar. Ada kiriman pesan singkat dari seorang kawan lama. Ia, kawanku SMA di Yogya, yang selama dua tahun tak bersua.
Tanpa membuka, aku sudah tahu isinya. Ia pasti ingin mengajakku datang ke acara reuni yang digelarnya seminggu lagi. Sama seperti isi pesan singkat darinya ketika Lebaran setahun lalu, yang sengaja tak kuhapus di memori ponselku. "Bisakah kamu luangkan waktu untuk datang reuni seminggu nanti?"
Aku biasanya akan langsung membalas.
"Maaf, aku tak bisa datang, baru ada urusan keluarga."
Tapi kali ini berbeda, kujawab pesan singkatnya juga dengan pertanyaan, "Apa aku harus wajib datang?"
Tidak menunggu lama, balasan pesan singkatnya sudah tiba.
"Aku dan teman-teman yang ada di sini sangat ingin kamu datang nanti. Karena kami ingin tahu rupa dan bentuk tubuhmu kini?" Aku tertegun membacanya. Balasan pesan singkat segera aku tulis.
"Oo, jadi karena itukah kau ingin bertemu denganku? Bukankah ada Skype?"
"Di situ, kita bisa chatting sekaligus saling melihat." Lalu kukirimkan.
Duapuluh detik kemudian, balasan pesan singkat darinya tiba. "Tolonglah, sobat. Datanglah nanti, aku ingin bertemu denganmu. Niatku hanya ingin silaturahmi, salahkah aku?"
Aku menghela napas sebentar. Lalu kembali membalas pesan singkatnya.
"Percayalah, tak ada yang berubah dari diriku. Aku masih seperti dua tahun lalu." Aku mengirimkan pesaan singkat balasanku.
Kurang seperempat menit, datang balasan pesan singkat darinya.
"Seperti dua tahun lalu? Ah, kamu memang pandai merendah. Bukankah kini kamu sudah kaya, punya mobil bagus. Beberapa hari lalu, aku lihat kamu naik mobil keluaran terbaru. Jadi bagaimana, kamu mau datang reuni seminggu nanti?"
Aku kembali tertegunn membaca balasan pesan singkatnya. Kali ini aku tak langsung membalasnya. Ponsel aku letakkan di atas meja, bersanding dengan mangkuk bekas mie dan segelas teh manis yang tinggal setengah.
Rasa bingung menghinggapi pikiranku. Teringat pepatah Jawa kuno, "Urip iku mung sawang sinawang." Itulah yang kini dialami temanku itu. Tak percaya aku dibuatnya.
Aku mengintip dari balik korden jendela samping sofa panjang tempatku duduk, hujan yang tadinya rintik-rintik kini berubah deras di luar rumah. Tampaknya pawang hujan sangat diperlukan untuk bisa 'mengusir' hujan pergi jauh. Agar mereka cepat pulang. Tak membuatku seperti orang bingung di rumah.
"Maaf aku tak bisa datang. Aku ada acara liburan ke TMII." Akhirnya aku menemukan alasan tepat. Tak ada balasan lagi.
Ponselku kali ini berdering. Sebuah telepon masuk, dari ayah di Yogya. Sama seperti tahun lalu, ayah akan melontarkan dua pertanyaan. Sayangnya, ketika itu jawabanku belum memuaskan hatinya. Tapi untuk kali ini, aku lebih siap menjawabnya.
Segera kuangkat teleponnya. Tanpa basa basi, pertanyaan pertama langsung meluncur dari mulut ayah, "Kapan kamu akan menikah?"
Pertanyaan pertamanya tak bisa langsung kujawab. Aku terdiam cukup lama.
"Jadi kamu belum tahu kapan akan menikah?" Ayah mempertegas pertanyaannya.
Lamat-lamat, kudengar suara hujan yang semakin deras di luar. Kuintip dari balik korden jendela ruang tamu. Kendaraan melaju kencang, menerobos genangan air cepat diserap. Aku menarik napas panjang. Entah apa di sana hujan atau tidak tapi kuharap tidak hujan.
Kasihan ayah kalau hujan, ia harus ikut berbasah-basah demi membuka tutup-tutup selokan di gang kampung agar genangan air tak masuk ke rumah-rumah warga, walaupun ia bukan petugas kebersihan. Tubuhnya yang renta pasti akan terjangkit demam, batuk atau pilek. Aku jadi tak tega membayangkannya. Segera, aku ambil ponselku, gelas dan mangkuk di atas meja lalu membawanya ke kamarku yang berada di paling belakang rumah ini. Mencoba melupakan apa yang baru saja kubayangkan. ❑ Yogya, 2017
http://id.klipingsastra.com/2017/08/cerita-ketika-hujan.html