Tuesday, September 12, 2017

Cerita Ketika Hujan (Cerma Minggu Pagi, 27 Agustus 2017)

MALAM ini, kudengar suara gemericik hujan yang turun rintik-rintik membasahi atap genteng rumah. Suaranya kian menambah syahdu suasana malam. Sendirian, aku duduk di sofa panjang ruang tamu yang empuk. Sayup-sayup terdengar lalu lalang kendaraan di jalan depan rumah.

Di hadapanku, ada sebuah meja yang di atasnya ada mangkuk bekas mie dan segelas teh manis yang tinggal setengah, sisa makan malamku tadi.

Tak seorang pun ada di rumah, sore ini. Para penghuninya terkecuali aku, sedang asyik jalan-jalan keliling Kota Jakarta, mengisi masa liburan. 

Ponselku tiba-tiba bergetar. Ada kiriman pesan singkat dari seorang kawan lama. Ia, kawanku SMA di Yogya, yang selama dua tahun tak bersua.

Tanpa membuka, aku sudah tahu isinya. Ia pasti ingin mengajakku datang ke acara reuni yang digelarnya seminggu lagi. Sama seperti isi pesan singkat darinya ketika Lebaran setahun lalu, yang sengaja tak kuhapus di memori ponselku. "Bisakah kamu luangkan waktu untuk datang reuni seminggu nanti?"

Aku biasanya akan langsung membalas.

"Maaf, aku tak bisa datang, baru ada urusan keluarga."

Tapi kali ini berbeda, kujawab pesan singkatnya juga dengan pertanyaan, "Apa aku harus wajib datang?"

Tidak menunggu lama, balasan pesan singkatnya sudah tiba.

"Aku dan teman-teman yang ada di sini sangat ingin kamu datang nanti. Karena kami ingin tahu rupa dan bentuk tubuhmu kini?" Aku tertegun membacanya. Balasan pesan singkat segera aku tulis.

"Oo, jadi karena itukah kau ingin bertemu denganku? Bukankah ada Skype?"

"Di situ, kita bisa chatting sekaligus saling melihat." Lalu kukirimkan.

Duapuluh detik kemudian, balasan pesan singkat darinya tiba. "Tolonglah, sobat. Datanglah nanti, aku ingin bertemu denganmu. Niatku hanya ingin silaturahmi, salahkah aku?"

Aku menghela napas sebentar. Lalu kembali membalas pesan singkatnya.

"Percayalah, tak ada yang berubah dari diriku. Aku masih seperti dua tahun lalu." Aku mengirimkan pesaan singkat balasanku.

Kurang seperempat menit, datang balasan pesan singkat darinya.

"Seperti dua tahun lalu? Ah, kamu memang pandai merendah. Bukankah kini kamu sudah kaya, punya mobil bagus. Beberapa hari lalu, aku lihat kamu naik mobil keluaran terbaru. Jadi bagaimana, kamu mau datang reuni seminggu nanti?"

Aku kembali tertegunn membaca balasan pesan singkatnya. Kali ini aku tak langsung membalasnya. Ponsel aku letakkan di atas meja, bersanding dengan mangkuk bekas mie dan segelas teh manis yang tinggal setengah.

Rasa bingung menghinggapi pikiranku. Teringat pepatah Jawa kuno, "Urip iku mung sawang sinawang." Itulah yang kini dialami temanku itu. Tak percaya aku dibuatnya. 

Aku mengintip dari balik korden jendela samping sofa panjang tempatku duduk, hujan yang tadinya rintik-rintik kini berubah deras di luar rumah. Tampaknya pawang hujan sangat diperlukan untuk bisa 'mengusir' hujan pergi jauh. Agar mereka cepat pulang. Tak membuatku seperti orang bingung di rumah.

"Maaf aku tak bisa datang. Aku ada acara liburan ke TMII." Akhirnya aku menemukan alasan tepat. Tak ada balasan lagi. 

Ponselku kali ini berdering. Sebuah telepon masuk, dari ayah di Yogya. Sama seperti tahun lalu, ayah akan melontarkan dua pertanyaan. Sayangnya, ketika itu jawabanku belum memuaskan hatinya. Tapi untuk kali ini, aku lebih siap menjawabnya.

Segera kuangkat teleponnya. Tanpa basa basi, pertanyaan pertama langsung meluncur dari mulut ayah, "Kapan kamu akan menikah?"

Pertanyaan pertamanya tak bisa langsung kujawab. Aku terdiam cukup lama.

"Jadi kamu belum tahu kapan akan menikah?" Ayah mempertegas pertanyaannya.

Lamat-lamat, kudengar suara hujan yang semakin deras di luar. Kuintip dari balik korden jendela ruang tamu. Kendaraan melaju kencang, menerobos genangan air cepat diserap. Aku menarik napas panjang. Entah apa di sana hujan atau tidak tapi kuharap tidak hujan. 

Kasihan ayah kalau hujan, ia harus ikut berbasah-basah demi membuka tutup-tutup selokan di gang kampung agar genangan air tak masuk ke rumah-rumah warga, walaupun ia bukan petugas kebersihan. Tubuhnya yang renta pasti akan terjangkit demam, batuk atau pilek. Aku jadi tak tega membayangkannya. Segera, aku ambil ponselku, gelas dan mangkuk di atas meja lalu membawanya ke kamarku yang berada di paling belakang rumah ini. Mencoba melupakan apa yang baru saja kubayangkan. ❑ Yogya, 2017


http://id.klipingsastra.com/2017/08/cerita-ketika-hujan.html

Wednesday, January 27, 2016

Sinopsis Rahasia Tuhan MENCARI MAAF UNTUK AYAH



RAHASIA TUHAN 1 JAM (2 JAM)
Mencari Maaf Untuk Ayah
Karya : 
Heru Prasetyo


TEMATIK

-Ketika kata maaf menjadi sesuatu yang sangat berarti, apapun akan kita lakukan –
Berawal dari kesalahan fatal yang pernah dilakukan Pak Badrun kepada sembilan orang temannya pada empat puluh tahun  lalu. Dan kini, Budi, sang anak yang harus mencari maaf untuk Pak Badrun, ayahnya.


SINOPSIS

BUDI, seorang anak yang berbakti kepada kedua orang tua. Sudah menikah dan dikaruniai seorang bayi yang lucu.

Suatu hari, Budi terkejut mendapat kabar PAK BADRUN, ayahnya yang berusia enam puluh tahun tiba-tiba jatuh sakit. Budi dan ibunya segera membawa sang ayah ke rumah sakit. Tapi keadaannya malah tambah parah. Sehingga harus terbaring koma. Keduanya lantas meminta tolong teman akrab sang ayah sejak masih remaja, Pak Rahmad.

Atas saran Pak Rahmad, Budi harus memintakan maaf sang ayah. Tak tanggung-tanggung kepada sembilan orang teman ayahnya yang entah masih ingat atau sudah meninggal. Kesembilan orang itu empat perempuan (BU RINA, BU RANTI, BU RITA dan BU NISA) dan lima pria (PAK TORO, PAK HARYO, PAK ARMAN, PAK RANDU dan PAK AHMAD) yang pernah disakiti hatinya oleh sang ayah. Mulai dari sering mengingkari janji kepada teman, utangnya tak dibayar, pacarnya direbut, bercanda yang kebablasan, dipermalukan di depan bos hingga memfitnah teman untuk hal yang tak dilakukan.

Awalnya, Budi ragu dan tak percaya. Tapi pada suatu malam, Budi bermimpi didatangi sang ayah memintanya untuk melakukan hal tersebut. Budi lalu mengambil cuti dari tempat kerja. Meninggalkan istri dan sang bayi kecilnya sementara waktu. Tak lupa, Pak Rahmad pun juga memberinya dukungan moril dan bekal materiil.

Berbekal foto dan alamat kesembilan teman sang ayah, Budi segera berangkat. Tujuan pertama Budi itu Pak Toro dan Bu Rina, dua orang teman sang ayah yang rumahnya tak begitu jauh. Keduanya mau langsung memberi maaf. Dilanjut menemui Bu Ranti dan Bu Rita yang beda satu kampung dengan Budi. Tapi ternyata keduanya sudah meninggal, Budi pun tak bisa berbuat apa-apa.

Pencarian maaf dilanjutkan. Kali ini menemui Pak Haryo dan Pak Arman, rumahnya beda kecamatan. Keduanya mau memaafkan asal diberikan uang. Awalnya, Budi sempat bersitegang. Tak mau memberikan uang. Tapi akhirnya Budi mau menuruti kemauan keduanya. Itu semua demi sang ayah.

Hingga pada akhirnya hanya tersisa tiga orang itu Bu Nisa, Pak Randu dan Pak Ahmad. yang harus dimintakan maafnya. Tapi Budi dapat telepon mendadak dari Pak Rahmad, ketiganya sudah pindah ke Bogor. Sementara cobaan malah menimpa Budi. Dompet dan sepeda motornya dicuri. Bos tempat Budi bekerja menginginkannya agar cepat kembali masuk kerja.

Dengan sisa uang dan foto yang masih bisa diselamatkan, Budi berjalan kaki menuju Bogor. Lelah tak ia rasakan. Akhirnya, Budi bisa menemui Bu Nisa Tapi ada syarat dari Bu Nisa, Budi harus menikahi anak perempuannya jika mau mendapatkan maaf untuk sang ayah. Terang saja, Budi menolak halus. Bu Nisa tak terima lalu menyuruh orang untuk memukuli Budi.

Budi yang sudah babak belur dilarikan warga ke rumah sakit. Di sana, Budi malah bertemu Pak Randu yang sedang sekarat. Dengan menahan rasa sakit dan perih, Budi memintakan maaf sang ayah. Untungnya sesaat sebelum malaikat maut mencabut nyawa Pak Randu, ia memaafkan kesalahan ayah Budi.

Sekarang tinggal Pak Ahmad yang belum juga Budi. Lalu Budi mengamati foto Pak Ahmad. Sepertinya ia kenal dekat jika wajah Pak Ahmad ada kumis dan jambang. Budi tersadar Pak Ahmad dan Pak Rahmad itu mirip. Budi ingin segera memastikannya tapi tak ada uang untuk pulang kembali ke rumah. Pertolongan dari Allah SWT datang tepat waktu, Bu Nisa tiba-tiba menemuinya dan langsung minta maaf karena takut akan dipenjara akibat menyuruh orang memukuli Budi.
Budi mau memaafkan. Tahu Budi sudah memaafkan, Bu Nisa juga memaafkan kesalahan ayah Budi. Tak lupa, Budi diberi uang saku untuk pulang ke Jakarta.

Sampai di rumah, Budi langsung menemui Pak Rahmad. Tanyakan mengapa ia mirip Pak Ahmad. Budi kaget ternyata Pak Antok itu saudara kembarnya Pak Rahmad yang sudah meninggal bunuh diri setelah dipermalukan ayah Budi di depan umum. Pak Rahmad sengaja menyembunyikan informasi ini karena ia belum rela kehilangan sudara kembarnya hingga saat ini.
Budi sampai memohon-mohon, berlutut sambil menangis meminta agar Pak Rahmad mau memaafkan kesalahan sang ayah pada saudara kembarannya. Melihat kettulusan hati Budi, Pak Rahmad akhirnya mau memaafkan ayah Budi. Bersamaan dengan itu, telepon rumah Budi bordering. Mengabarkan sang ayah meninggal.  Budi antara lega dan sedih. Lega karena sang ayah kini bisa ‘pergi’ tanpa beban kesalahan masa lalunya. Sedih karena Budi harus kehilangan seorang ayah yang sangat ia hormati dan sayangi. 
*Tayang pada 11 Desember 2015 di Trans 7 jam 09.00 WIB.
 https://www.youtube.com/watch?v=srXdwSI-8mY


Monday, December 28, 2015

Cerpen 2014

Pulsa Nyawa
Oleh: Herumawan P A
            Kios pulsa di depan rumah tampak ramai. Si penjual tak tampak batang hidungnya. Seperti tenggelam di antara lautan ratusan pembelinya. Aku bertanya kepada seorang tetangga yang sedang menunggu antrian, “Ada apa gerangan? Mengapa sangat ramai?”
Katanya, kios pulsa ini menjual isi ulang nyawa.
“Nyawa?” Aku tercekat.
“Manusiakah? Tetanggaku mengangguk. Aku kian tercekat.
“Wow..” Hanya kata itu yang bisa keluar dari mulutku.
            “Bagaimana caranya?” Aku tertarik membelinya. Tetanggaku di sebelahku berdiri menggeleng.
“Mungkin seperti kita membeli pulsa biasa.” Sahut seorang tetanggaku yang lain, di dalam antrian. Aku tersenyum mendengarnya.
“Aku akan ikut mengantri.” Tekadku bulat. Aku masuk ke dalam antrian yang sudah mengular sangat panjang.
            Hari berganti hari. Bulan berganti bulan. Kini sudah bulan yang keenam, aku belum juga bisa bertemu si penjualnya. Antrian panjang itu seakan tak menemui muara. Aku masih tetap berada di tempat yang sama. Belum beranjak dari tempatku antri semula.
            “Mengapa tak juga beranjak?”
“Ada apa di depan sana?” Terbersit untuk menyerobot antrian. Tapi niat itu aku urungkan. Tampak di antrian bagian depan sana, banyak wajah-wajah sangar tak berbelas kasihan. Aku jeri melihatnya.
            Akhirnya, antrian yang mengular itu pun bergerak. Hanya sejengkal. Aku menghela nafas.
“Kapan aku bisa beli pulsa itu?” Aku mulai tak mau berharap banyak. Kulihat ke belakang, antrian semakin banyak. Sementara, antrian di depan belum juga tampak bergerak maju.
            Tiba-tiba, seorang lelaki tua mendatangiku.
“Ayo, ikut bersamaku.” Lelaki tua itu menarikku keluar dari antrian. Semua orang yang mengantri memandangiku. Tapi aku tak peduli. Aku terus saja melangkah mengikutinya.
            Lelaku tua itu mengantarkanku sampai ke depan kios pulsa. Aku tertegun melihat bentuk bangunannya. Belum sempat, aku berterima kasih, lelaki tua itu sudah pergi tak tahu kemana.
            Kini, aku di depan kios pula. Tampak seorang perempuan muda tersenyum kepadaku.
“Mau beli pulsa berapa, Mas?” Tanyanya. Aku terdiam sejenak.
“Isi pulsa dua puluh ribu.” Jawabku.
“Gak bisa, Mas.” Aku terkejut.
            “Bisanya isi ulang lima ribu saja.”
“Ya sudah, pulsa lima ribu empat kali.”
“Hanya satu kali.”
“Satu kali juga gak apa-apa.” Kataku kesal. Si perempuan penjualnya tersenyum. Lalu mengisikan pulsa. Entah kenapa, hatiku yang semula kesal kepadanya menjadi luwer.
Ketika aku hendak membayar pulsa, ia menampiknya.
“Kios pulsa ini tak melayani pembayaran uang tunai.” Jelasnya.
“Harus pakai kartu kredit ya?” Ia menggeleng.
“Lalu pakai apa?” Ia menunjuk ke arah dadaku.
“Pakai kebaikan hati.” Aku tak percaya mendengarnya.
“Benarkah hanya pakai kebaikan hati. Mengapa?” Tanyaku heran.
“Karena kini hanya sedikit yang mempunyai kebaikan hati. Selebihnya ego yang berkuasa.” Jawabnya. Aku mengangguk. Lalu berjalan meninggalkan kios pulsa itu. Pulang ke rumah.
Tiba di rumah, layar ponselku tampak bersinar. Tanda ada pesan masuk. Aku membuka dan membaca isinya.
“Selamat, nyawa anda telah diisi ulang dengan seri voucher khusus.”
Aku tak percaya membacanya. Lalu mematut diri di kaca cermin kamar.
“Apanya yang isi ulang nyawa? Tetap tak ada yang berubah.”
“Sama saja masih punya satu nyawa.”
            Aku merasa kios pulsa itu sudah membohongiku. Toh begitu, aku tak rugi sedikitpun. Malah untung tak perlu membayar pakai uang tunai.
            Seminggu berlalu. Pulsa ponselku masih tetap sama. Karena jarang aku gunakan sms, telepon maupun internetan.
            Ada pesan masuk di ponselku. Aku membukanya. Tercenggang, aku membacanya.
“Masa aktif nyawa anda habis. Segera lakukan pengisian ulang nyawa anda.”
“Benarkah ini?” Pikirku. Lalu aku mencoba untuk menelepon. Di ujung telepon, terdengar suara seorang perempuan mirip si penjual pulsa itu.
“Sisa nyawa anda tak cukup untuk melakukan panggilan ini. Segera lakukan pengisian ulang.”
            Aku bergegas ke kios penjual itu. Tapi yang kulihat, tampak sepi dan bangunannya tutup. Kucoba bertanya pada orang yang duduk-duduk di depan kiosnya.
“Kemana yang punya kios pulsanya? Kok tutup?”
“Kurang tahu, Mas. Mungkin baru pergi.”
“Ditunggu di sini saja.” Aku manggut-manggut. Lalu duduk di sebelahnya.
            Tak lama, perempuan penjual pulsa datang. Aku menghampirinya.
“Mau beli pulsanya?” Ia tersenyum.
“Maaf, Mas. Sudah tak jualan pulsa lagi.” Aku terkejut.
“Lha terus bagaimana isi pulsanya?”
“Kan sudah dibilangin bayar dan isinya sama-sama pakai kebaikan hati. Ini kan pulsa khusus.” Aku terdiam mendengar. Tak ada sepatah kata pun yang keluar dari mulutku.
            “Di kios lain kan masih bisa.” Kata orang di sebelahku.
“Tapi ini pulsanya khusus, beda dari yang lain.” Sahutku. Orang itu terdiam lalu pergi meninggalkanku sendiri di depan kios pulsa.
            “Kebaikan hati, apa maksudnya?” Aku bergumam sambil melihat ke sekelilingku. Sepintas, aku melihat botol kaca minuman energi tergeletak di tengah jalan. Lalu aku pungut dan membuangnya di tempat sampah.
            “Caranya tak sulit kan, Mas.” Perempuan penjual pulsa membuatku terkejut. Aku tersenyum. Ia lalu menunjuk ke ponsel yang aku bawa.
“Pulsanya sudah masuk.” Aku lalu membukanya. Benar saja, ada tulisan yang sama seperti pertama membeli pulsanya.
            Tapi sejak saat itu, aku tak lagi melihat perempuan penjual pulsa dan kiosnya itu. Mungkin sudah pindah ke tempat lain. Ke tempat manusia-manusia yang tak punya kebaikan hati dan menjual pulsa nyawa di sana.
*Dimuat di Kedaulatan Rakyat, tanggal 15 Juni 2014.